Rubiyanto Misman; Pribadi yang Sudah Selesai

Pada mulanya Prof Rubiyanto Misman mengungkapkan bahwa dirinya ragu untuk menerbitkan buku biografi. Nanti dikira sombong atau bagaimana. Begitu beliau ungkapkan ketika pertemuan pertama di ruang tamu beliau di Perumahan Dosen no 14, Jalan Kampus Grendeng.
Akan tetapi, kemantapan untuk menerbitkan biografi itu muncul karena dorongan para sahabat. Beberapa mantan staf, mantan kolega, dosen-dosen muda, dan teman-teman meyakinkan beliau bahwa nilai-nilai yang beliau perjuangkan layak untuk diwariskan dalam bentuk buku. Harapannya, dosen-dosen muda atau bahkan pimpinan-pimpinan fakultas dan jajaran rektor bisa menimba semangat Prof Rubi.
Ketika cerita-cerita mulai mengalir, tampaklah bahwa ada banyak hal khusus – kalau tidak bisa dikatakan istimewa – pada fakta sejarah Prof Rubi terkait dengan almamaternya Unsoed. Fakta khusus tersebut di antaranya adalah, Prof Rubi adalah mahasiswa angkatan pertama Fak Biologi Unsoed yang sekaligus juga alumni angkatan pertama. Status pertama dalam hal angkatan mahasiswa dan alumni ini kemudian ternyata berlanjut ketika terpilih menjadi dekan, dan pada akhirnya menjadi rektor. Jadi dekan pertama yang berasal dari alumni (pertama), serta rektor pertama yang berasal dari alumni (pertama) adalah Rubiyanto Misman.
Fakta tersebut barangkali bisa dilihat sebagai fakta matematis belaka. Akan tetapi, catatan beliau dalam pengantar buku bisa memberi arti akan hal peran beliau dalam pengembangan Unsoed.
Pada waktu awal hingga akhir masa jabatan saya, ada peningkatan jumlah mahasiswa yang cukup besar. Awalnya sekitar 10-11 ribu mahasiswa pada tahun 1997, kemudian pada tahun 2005 jumlahnya mencapai 23 ribu mahasiswa. Program studi yang semula 27 bertambah menjadi 54 program studi. Selain itu, yang dianggap sebagian kalangan sebagai spektakuler adalah dibukanya Program Studi Kedokteran beserta rumpun-rumpunnya seperti Fak. Kedokteran Gigi, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Keperawatan dan juga Program Studi Teknik. Belum lagi Program-program Studi Bahasa, Program-program Studi Komunikasi, Hubungan Internasional yang bernaung di dalam FISIP.
Bagi Prof Rubi, apa yang beliau buat tersebut adalah sebentuk upaya membayar hutang terhadap almamater yang telah mendidik dan membesarkan beliau. “Itulah mengapa saya merasa sudah bisa membayar hutang pada almamater saya,” tulisnya dalam akhir pengantar buku.
Tentu saja dalam buku dituliskan lebih detil misalnya bagaimana beliau mendirikan Fak Kedokteran. Ini adalah salah satu fakultas yang nekad dibuka meskipun ijin dari pemerintah belum turun. Pihak Kementrian Pendidikan menegur Prof Rubi atas hal ini. Akan tetapi tekad yang kuat dari Prof Rubi, dengan diplomasi yang cerdas juga, membuat ijin itu lantas menyusul diberikan.
Dirjen Dikti Periode 1991-1999, Prof. Dr.Ir. Bambang Suhendro, M.Sc menyebut Rubi sebagai “rektor gemblung”. “Sebagai Rektor, Pak Rubi sangat kreatif dan besar dedikasinya untuk mengembangkan UNSOED, sehingga kadang kala “mendahului” peraturan yang berlaku. Dalam kalangan Rektor PTN, sangat percaya diri dan mempunyai selera humor tinggi. Hal-hal tersebut merupakan alasan yang cukup untuk memasukkan kedalam  kategori ‘Rektor Gemblung’”, begitu Bambang Suhendro memberikan testimoni.

Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1993-1998) Prof.Dr.Ing Wardiman Djojonegoro secara terbuka mengakui betapa repot menghadapi sepak terjang rektor Unsoed yang satu ini. Dalam sebuah pertemuan tanpa terencana di sebuah hotel di Jakarta, di hadapan sejumlah rektor yang sedang rehat, Wardiman mengatakan, “Untung kita punya rektor model Rubi cuma satu. Kalau 10 orang, mati kita. Ngawurnya itu lho yang kebangeten…!!”

Anak Rubes
‘Bakat ngawur’ itu sudah terlihat ketika Rubi muda. Sebagai anak SMA, bersama teman-teman ia biasa nonton film koboy di bioskop di kota kecil Cilacap. Ia bersama empat temannya cukup membeli dua tiket masuk. Tiket lain menggunakan tiket bekas yang sudah diseobek dan sengaja dipungut, lantas direkatkan. Tiket baru itu diletakkan paling atas menutupi tiket-tiket bodong di bawahnya.
Bersama teman-teman, Rubi juga membawa senapan angin untuk berburu. Kadang ketika burung-burung sulit didapat, mereka menembak ayam milik orang.
Rubi tergabung dalam band remaja yang diberi nama Rubes. Rubes adalah istilah lokal Cilacap yang kurang lebih menggambarkan tindakan atau suasana kacau atau semrawut, menerabas tata aturan atau norma yang umum di masyarakat. Akan tetapi yang dijalani Rubi dan teman-teman masih dalam batas-batas wajar sebagai anak remaja.
Contoh bagaimana ‘rubesnya’ Rubi dan anak band lain adalah ketika pentas di dekat Stasiun Maos. Dari Cilacap mereka berangkat ke Maos. Sesampai di Maos, anggota band Rubes merasa perlu memoles penampilan rambut. Mereka mendapati lemak atau minyak pekat pada rangkaian gerbong keretaapi. Tanpa sungkan, tangan mereka meraup lemak tersebut dan mengoleskannya pada rambut mereka masing-masing. Dengan demikian rambut bisa lebih mudah dibentuk.
“Waktu itu tidak ada pomade,” tutur Rubi yang menjadi vokalis.
Ke-rubesan atau ke-ngawuran itu tampaknya muncul juga ketika Rubi menjadi rektor. Bagaimana Prof Rubi membuka penerimaan mahasiswa baru untuk Fak Kedokteran meskipun belum ada ijin dari Dirjen Dikti, menunjukkan bagaimana “rubes” atau “ngawurnya” beliau.
Akan hal bagaimana Prof Rubi memanaj Unsoed sedemikian rupa, sahabat masa kecilnya, Subiakto Tjakrawerdaja yang juga menjadi Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah RI (1993-1998) melihat bahwa Prof Rubi tahu ke mana arah kepemimpinannya. Tulis Subiakto, “Seorang pemimpin visioner yang sejati memiliki sense of destiny. Dia tahu dan yakin secara pribadi ke mana dirinya akan membawa organisasi yang dipimpinnya, apakah sebuah perusahaan, grup usaha atau unit pemerintahan di segala tingkat. Pak Rubi memiliki ini.”

Demikianlah, Subiakto melihat, “kerubesan” dan “kengawuran” Prof Rubi saat memimpin Unsoed terlahir dari visi Prof Rubi yang jauh ke depan.
Visi itu tampaknya tertempa pada masa-masa ia sebagai mahasiswa dan dosen muda dididik oleh dua rektor militer. Rektor pertama adalah Brigjen TNI R.F. Soedardi SH (semula berpangkat Kolonel CHK) (masa jabatan tahun 1965-1974). Rektor yang kedua adalah Brigjen TNI Drs. Soedaman Hadisoetjipto (masa jabatan tahun 1974-1982).
Pada masa Rektor Bapak Soedardi, Rubi menjadi sopir pribadi ketika melakukan inpeksi ke fakultas-fakultas pada tiap pagi sebelum karyawan datang. Rubi juga difungsikan menjadi staf pribadi pada saat-saat Bapak Soedardi mengikuti rapat-rapat di Jakarta. Kadang Rubi difungsikan sebagai ajudan ketika harus mengirim beras Grendeng yang terkenal enak itu ke Cendana, Jakarta. Rubi menjalankan peran apapun yang diminta oleh Pak Soedardi.
Pada saat Rektor Bapak Soedaman, Rubi menjadi tangan kanan beliau. Rubi selalu mendampingi Pak Soedaman setiap kali beliau menerima tamu-tamu menteri dan jenderal dari Jakarta. Merancang logo Unsoed, merancang patung Jenderal Soedirman berkuda sebagai ikon Unsoed, dan sebagainya,
Demikianlah, kedisiplinan dan loyalitas pada almamater serta visi dibangun pada masa-masa tersebut.
Catatan ringan; bermainnya sudah jauh
Pada masa-masa menjemput para jenderal atau pejabat, kadang Rubi berpikir, apakah suatu saat bisa duduk sejajar dengan orang-orang seperti yang dijumpainya itu. Ternyata, pada akhirnya Rubi “bisa mencapai hal itu”, sebagai seorang rektor.
Meskipun memegang tapuk pimpinan universitas, Rubi  tidak tergoda memainkan trik-trik untuk kepentingan diri sendiri. Segala daya upaya pengabdian dan karya Rubi, sepenuhnya untuk pengembangan Unsoed.
Testimoni beberapa karyawan memberikan petunjuk bagaimana segala yang dilakukan Rubi hanya demi Unsoed, bukan demi pribadi. Sejak menjabat sebagai Dekan Fak Biologi, kendaraan kantor hanya Rubi gunakan untuk kepentingan kantor. Juga ketika menjadi rektor. Kendaraan jenis sedan itu hanya digunakan untuk urusan kantor. Istri dan anak-anak tidak diperkenankan menggunakan untuk kepentingan pribadi atau keluarga.
Meskipun Rubi disiplin pada diri sendiri, Rubi berbaik hati pada karyawan. Seorang staf rektorat bercerita, ketika rapat rektorat berlangsung hingga menjelang petang, Prof Rubi selalu menawarinya untuk pulang diantar dengan kendaraan Prof Rubi oleh sopir mengingat rumahnya di Purbalingga. Akan tetapi, staf tersebut menolak demi penghargaan pada pimpinan.
Begitulah, anak-anak muda sekarang barangkali mengatakan dengan istilah, bermainnya sudah jauh (dolane wis adoh). Ungkapan sebaliknya, mainnya kurang jauh, sering digunakan untuk mengolok-olok orang di media sosial yang dinilai berpandangan sempit dan kurang wawasan.
Barangkali kita bisa mengatakan tentang Prof Rubi demikian; Bagaimana mungkin beliau silau dengan jabatan lantas tergelincir untuk memperkaya diri sendiri, karena beliau sudah kenyang berinteraksi dengan para pejabat dan jenderal-jenderal sejak masa muda. Bagaimana mungkin beliau tergelincir dengan hormat dan puja-puji ketika menjadi pucuk pimpinan universitas, karena ketika muda sudah kenyang dan mereguk sambutan tepuk tangan ketika bermain musik bersama band Rubes.
Bagaimana mungkin beliau tergelincir berselingkuh dengan pengusaha ketika berkuasa sebagai rektor, karena beliau sudah pernah mendapatkan hal yang jauh lebih besar, berupa seorang gadis yang lantas menjadi pasangannya, dari seorang pengusaha di Purwokerto tempat ia kos semasa mahasiswa.
Demikianlah, ketika sebuah pribadi sudah usai dengan dirinya, ia tidak lagi pertama-tama bekerja untuk kepentingan pribadi, tetapi pertama-tama adalah untuk kepentingan lembaga yang ia pimpin. Terlebih bila yang bersangkutan melihat bahwa segala kerjanya adalah demi membayar hutang pada almamater, seperti yang dihayati Prof Rubi.
(Tentang hal gadis anak pengusaha dan kisah-kisah asmara Prof Rubi, belum termuat dalam buku Memenuhi Panggilan Almamater; Biografi Rubiyanto Misman. Barangkali akan ditulis menjadi buku khusus.)

Sutriyono
Penulis buku Memenuhi Panggilan Almamater; Biografi Rubiyanto Misman

Komentar